Rabu, 21 Agustus 2019

BURUK MUKA, CERMIN YANG KUBERSIHKAN

Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wa Barokatuhu.
Salam sejahtera untuk anda semua, semoga selalu dalam keberkahan

Catatan ini sebenarnya sudah dibuat beberapa tahun lalu dengan judul "SETRAP" dan rasa-rasanya sudah pernah diposting di media sosial, tetapi saya lupa di fb atau di "Kompasiana". Tapi tak apalah, "idep-idep" sebagai pengisi blog yang sudah lama tidak aktif, sambil memanfaatkan waktu sebelum pulang dari kantor, saya posting ulang tanpa ada perubahan apapun. Silakan para pembaca memberi komentar atau sekedar tanda suka dan tidak suka di kolom yang sudah saya siapkan di bawah tulisan ini. Apapun reaksi anda tetap akan saya terima dengan lapang dada, insya Allah.

Kata mutiara yang sudah sangat diterima oleh semua kalangan, sebagai bentuk persetujuan bahwa kondisi orang tua dari berbagai segi dapat dilihat dari kondisi anak-anaknya. Meski dalam banyak kasus (disebut kasus karena tidak terjadi pada semua orang) ada yang kondisinya berkebalikan, orang tuanya baik-baik tetapi anak-anaknya brengsek dan sebaliknya, atau orang tuanya kaya raya tetapi anak-anaknya hidup melarat (diperhalus menjadi sederhana, atau miskin/berkekurangan).

Miris dan pilu sebenarnya melihat kenyataan anak-anak khususnya yang masih sekolah (maupun kuliah) sekarang ini. Jika teringat pada kalimat di atas berarti kita semua para orang tua dan guru adalah orang-orang yang bisa dibilang gagal dalam mendidik anak. Sangat berat rasanya mengakui bahwa "saya adalah orang yang brengsek", sehingga banyak yang kemudian menyalahkan kurikulum, sistem dan metode pembelajaran, sistem pendidikan, pemerintah, media dan sebagainya.

Pagi itu cuaca cerah, tetapi aku masih saja tidak bisa berangkat lebih awal sebagaimana rekan-rekan yang lain, tanggung jawab entry data sekolah dan menilai kinerja teman-teman seprofesi yang harus dilakukan secara daring selalu saja menghambat rencana matang yang sudah kususun malam hari untuk esoknya. Ya, karena di sekolah tidak ada jaringan internet maka harus kulakukan di rumah, pada malam hingga pagi harinya.

"Pak, baleng nggih ?" tanya anak bungsuku yang baru kelas TK kecil, maksudnya mengajakku berangkat bareng bersama ibunya. Spontan akupun melihat jam dinding yang ternyata mati kehabisan batere, pandangan kualihkan melihat jam weker kakak di meja dekat TV, 06.55. Yaah, sudah kepalang siang, pikirku.

"Nggih", jawabku cepat yang kemudian diikuti dengan senyum lebarnya, senyum yang selalu membuatku luluh pada setiap permintaanya dan selalu saja mendatangkan rasa bahagia melihatnya.

Seperti biasa, setiap hari Sabtu guru yang hadir jumlahnya tak habis jumlah jari di kedua tangan untuk menghitung jumlah mereka. Jumlah jam pelajaran yang hanya 6 jam tatap muka dan masing-masing  pelajaran 2 jam serta sebagian besar guru mengampu di sekolah lain karena kekurangan jam di sekolah induk, membuat suasana Sabtu seolah sudah "setengah libur".

"Sepi", batinku ketika aku menginjakkan kaki di ambang pintu ruang guru, tetapi segera sadar diri, kulirik jam dinding, 08.05 "satu jam pelajaran", batinku lagi.

Jelas saja, pada jam itu guru yang lain sedang masuk kelas, termasuk kepala sekolah juga ada jadwal tatap muka di hari itu. Seandainya saja ketemu dan ditanyapun aku sudah punya jawaban yang sangat logis dan pasti bisa diterima. Tetapi yang paling membuatku berani datang terlambat seberapapun logis dan benar alasan yang kuajukan tidak ada yang lebih kuandalkan selain alasan kejujuran.

Sebenarnya ada rasa bersalah yang cukup menggelayut di dada ini, meski alasan kejujuran sudah selalu kulakukan, ternyata masih ada sedikit ketidakjujuran di sana. Aku menyadarinya ketika dalam perjalanan yang memakan waktu lebih kurang 45 menit bersepeda motor, aku sempat sedikit berintrospeksi diri, mungkin juga sambil melamun. Sebenarnya aku bisa untuk datang lebih pagi, jika benar-benar ingin menjadi teladan bagi anak-anak, tak perlu harus menunggu hingga jam 07.00 untuk menyelesaikan pekerjaan daringku, toh nyatanya belum benar-benar selesai juga, masih harus diulang nanti sepulang sekolah. Pada titik inilah aku merasa gagal, gagal menjadi teladan bagi teman-teman dan khususnya bagi anak-anak didikku.

Pengalaman beberapa hari yang lalu menguatkan perasaan gagal itu dan kebenaran ujaran tentang anak adalah cermin orangtua. Ketika sekolah sedang disibukkan dengan persiapan menghadapi ujian akhir, bapak ibu guru sedang disibukkan dengan tuntutan memenuhi administrasi kepegawaian dan administrasi pembelajaran serta administrasi persekolahan, maka beberapa jam pelajaran di kelas mau tidak mau ditinggalkan. Anak-anak diberi tugas sesuai dengan materi yang mestinya disampaikan pada saat itu, meskipun hal ini sesuai dengan norma yang berlaku tetap saja meninggalkan akibat yang sudah dapat diduga sebelumnya pada anak-anak. Mereka tidak bekerja dan belajar dengan sungguh-sungguh.

Puncak keprihatinan terjadi pada puncak akhir pekan, setelah istirahat pertama yang berakhir pada jam 09.30 seluruh siswa dikumpulkan di halaman untuk mendapat pengarahan kegiatan yang sudah direncanakan sejak sehari sebelumnya. Acaranya yaitu membersihkan lingkungan sekolah secara bersama-sama. Sebagian besar siswa sudah membawa peralatan yang dibutuhkan, kecuali beberapa kelompok siswa yang tergolong "khusus".

Setelah selesainya pengarahan dari kepala sekolah, wakil kesiswaan memberi arahan dengan membagikan tugas dan tanggung jawab masing-masing kelas dalam membersihkan lingkungan.

"Sudah jelas semuanya ?" demikian wakasek kesiswaan mengakhiri dan memastikan arahannya sudah dipahami.
"Jelaaaassss..." Jawab mereka serempak, tentu saja dengan mimik khas kerumunan yang dilempari pertanyaan, ekpresi jawaban spontan tanpa makna.

Aba-aba pun diberikan, "semuanya ! tanpa penghormatan, bubar, Jalan !"

Segera saja keriuhan terjadi, seperti kerumunan semut yang disiram air, anak-anak berlarian kesegala arah sesuai tugas masing-masing, namun banyak di antaranya yang bergegas lari ke kelas mengambil tas seperti ketika jam pelajaran terakhir usai, hanya bedanya mereka sambil menenteng sabit, sapu, ember dan sebagainya, yang sebelumnya sudah mereka siapkan dari rumah.

"Maaf pak, saya tak duluan ya " kata seorang teman yang pamit karena ada undangan yang harus dihadiri.
"Mangga pak, kula rumiyin, kata ibu guru yang hari itu hadir sendirian, yang lain bapak-bapak semua, sambil menyorongkan tangan mengajak bersalaman.

Tak lebih dari 10 menit, kesunyian menyergap raung guru. Suara anak-anak sayup-sayup terdengar di luar. Untuk menyegarkan pikiran dan pandangan yang terus menerus menatap laptop sejak datang pagi tadi hingga jam 10.15 sebagaimana ditunjuk oleh jarum jam dinding,kuarahkan pandangan keluar jendela, di beberapa sudut tampak mereka sedang jongkok, duduk-duduk sambil ngobrol dan menonton suasana tanpa melakukan sesuatu, sementara beberapa temannya sedang asyik menyabit rumput atau mencabutinya dan menyapu halaman.

Bergegas kuarahkan langkah ke ruang TU, kuhidupkan TOA yang masih lumayan baru dan suaranya cukup keras untuk didengar seluruh penghuni sekolah.

"Coba kalian yang sudah selesai mengerjakan tugasnya segera membantu teman lain yang belum selesai, agar bisa selesai dengan cepat", kataku berulang-ulang dengan nada datar khas himbauan orang bijak, sambil mengitari halaman sekolah melalui pandangan.

Di sana ternyata masih banyak rumput dan sampah yang belum terjamah, di sana-sini ada gerombolan yang tidak melakukan aktifitas kerja bakti.

Tanpa pikir panjang lagi segera kumatikan amplifier dan bergegas keluar.
"hoii !", teriakku sekeras-kerasnya, "sedang apa kalian ?!"
gedubruk-gedubrug-gedubrug.. !!!!, spontan suara mereka berlarian kocar-kacir dan berusaha bersembunyi atau jongkok berpura-pura sedang bekerja, terdengar bersahutan. Puluhan pasang mata dari kepala-kepala kecil di kejauhan tampak berkilatan menyaksikan si lonely ranger melangkah dengan tegak dan bergegas sambil berteriak berulang-ulang memberi komando dan bentakan-bentakan, tangannya menenteng sebatang tongkat bambu pramuka dari hasil menyambar milik seorang anak yang sedang mempermainkannya.

Di beberapa bagian lain di mana banyak rombongan pengobrol yang tidak tahu akan kedatanganku tampak banyak diantaranya terperanjat demi mendengar gelegar bentakanku dan melihatku sudah ada di dekatnya. Tak pelak lagi, karena hanya bisa bingung tidak tahu mau berbuat apa, segera saja tanganku mendapat banyak mangsa, kuseret tangan atau leher mereka satu persatu dengan cepat untuk jongkok di area yang masih belum tersentuh alat kerja apapun. Jika ada anak yang lari maka akan kukejar hingga kudapatkan.

Ada perasaan marah dan gemas melihat perilaku mereka dan menjalani peranku saat itu, bukan hanya pada perilaku mereka yang abai dengan tanggung jawab yang sudah disanggupi, tetapi lebih pada keadaan yang membuat kondisi sekolahku demikian ini. Banyak juga di antara mereka yang sesungguhnya berpotensi, namun terabaikan karena berbagai hal. Perilaku mereka sudah mulai berproses sejak SD dan sebelumnya tetapi kini justru semakin seperti menemukan lahan subur untuk berkembang ke arah yang kurang benar ketika SMP.

Semakin kuperhatikan, hanya dalam sehari itu semakin kuselami bagaimana sejatinya mereka, anak-anakku, generasi emas masa depan Indonesia.

Semoga saja mereka yang berkumpul di halaman siang itu, di bawah gerimis yang deras mengucur, dalam lelah dan lapar, dalam siraman kata-kata pedas usai menjalani kerja paksa yang tidak pernah dirasakan sebelumnya, dalam ketegangan yang tercipta oleh cengkeraman rasa bersalah, mereka menemukan nilai-nilai yang selama ini hampir tak pernah terbuktikan, meski sering mendengar dan menuliskannya..

*ngaliyanbjntmg 20150122

TITIK NADIR KUALITAS PENDIDIKAN (?)

Tingginya anggaran pendidikan yang tidak diikuti dengan peningkatan indeks pembangunan manusia adalah antitesis atas politik anggaran sebaga...